Selasa, 08 Agustus 2017

Mereguk Nikmatnya Ilmu, Merajut Cita Seiring Waktu



“If you are not willing to learn, no one can help you. If you are determined to learn, no one can stop you” –anonymous-

Tulisan ini berawal dari flashback saya melihat banyak foto graduation (wisuda) yg berseliweran di FB akhir-akhir ini. Bagi saya, wisuda adalah momen sakral. Saat dimana kita dapat begitu haru melihat senyum bangga dan bahagia dari wajah kedua orang tua kita. Saat dimana masa perjuangan kuliah, turun lapangan, dan menulis skripsi seakan berlalu begitu mudah dan segala lelah terbayar sudah. Masa pembuktian bahwa segala perjuangan orang tua membesarkan dan menyekolahkan putra putrinya pada akhirnya berbuah nyata.

Tepat Januari 2010 lalu, alhamdulillah Allah takdirkan saya lulus lebih cepat dibanding teman-teman yang lain (3.5 tahun) dengan mengantongi IPK cumlaude. Bagi saya, itupun sebuah momen pembuktian bahwa seorang aktivis mahasiswa dengan segala kegiatan akademis dan dakwahnya juga mampu berprestasi gemilang dan lulus lebih cepat. Saya ingin mematahkan pendapat yang mengatakan bahwa aktivis itu lulusnya telat. Masih jelas terbayang di dalam bayangan saya, wajah syukur penuh haru di mata ayah dan ibunda, karena saya adalah anak pertama yang berhasil mengundang mereka untuk menghadiri wisuda.


Saya berasal dari keluarga sederhana. Ayah dan ibu saya tidak pernah mencicipi nikmatnya pendidikan tinggi, bahkan tidak di bangku SMA. Mereka berasal dari keluarga desa, yang kemudian merantau pergi ke Jakarta. Kami hanyalah keluarga kecil yang mencoba berjalan mematuhi aturan-Nya. Dan merekalah orang tua terbaik bagi saya. Yang berjuang begitu besar untuk menunjang segala cita, tempat melabuhkan lelah, mengobarkan semangat, serta memberikan energi terbaik bagi saya untuk terus berkarya dimanapun berada. Menurut saya, kecintaan menuntut ilmu tidak membatasi siapapun juga. Mungkin memang benar mereka yang berasal dari keluarga kaya memiliki kesempatan lebih besar untuk bersekolah di universitas-universitas ternama. Tapi setidaknya, pengajaran dan perjuangan orang tua saya membuktikan, bahwa kecintaan kepada ilmu pun dapat dimiliki oleh mereka yang hidup sederhana, mereka yang senantiasa percaya, bahwa ilmu itulah yang nantinya akan meninggikan derajat mereka di surga.

Bagi saya, menimba ilmu itu bukan hanya sekedar kewajiban, atau kebiasaan manusia hidup untuk menikmati jenjang pendidikan. Menuntut ilmu bukanlah melalui bertahun-tahun belajar hanya demi selembar ijazah, posisi jabatan, atau penentu besarnya penghasilan. Bagi saya, menuntut ilmu adalah ibadah yang tak akan pernah berkesudahan, hingga akhirnya nyawa terpisah dari badan. Ilmu adalah wasilah (jalan), untuk dapat membaktikan diri agar bisa lebih banyak memberi. Ilmu adalah pintu, untuk lebih banyak menebar kebaikan dan membangun perbaikan pada sekitar.

Jika ada yang bertanya, “Ga capek apa sekolah mulu?”, kadang saya hanya tersenyum simpul mendengar pertanyaan itu. Mungkin pertanyaan itu muncul bagi mereka yang telah terjebak mendefinisikan ilmu dalam kerangka materi. Perjalanan sekolah saya, semakin meyakinkan saya bahwa saya masihlah begitu bodoh, dan masih terlalu sedikit memahami ilmu-Nya yang Maha Luas. Saat saya S3 ini, mungkin adalah masa puncak saya merasa bahwa pengetahuan saya tentulah sangat minim, persis seperti yang diilustrasikan pada gambar dibawah ini. Sama seperti yang mba Melanie bilang, “Educating youself does not mean that you were stupid in the first place; it means that you are intelligent enough to know that there is plenty left to learn” (Melanie Joy)

Itulah alasan sederhana bagi saya mengapa tidak juga berhenti sekolah meskipun telah menikah dan memiliki anak. Saya juga berhasil “menghasut” suami saya untuk melanjutkan studi nya, hehe. Karena lagi-lagi, kami telah bersepakat memiliki visi pernikahan yang sama dan siap sedia berkorban untuk membangun cita bersama. Alhamdulillaah akhir tahun 2014 lalu, suami saya telah berhasil meraih gelar master dari Newcastle University. Meskipun itu artinya berarti ia harus rela studi sendiri tanpa ditemani anak dan istri. Meski itu berarti, sebuah pengorbanan harus dilakukan untuk mereguk nikmatnya ilmu di negeri orang.

Saya pribadi tidak pernah malu untuk mengajak anak kemanapun saya pergi. Saat bertugas di luar kota, luar negeri, menghadiri konferensi, seminar, maupun mengisi acara-acara kemuslimahan. Saya selalu menanamkan bahwa ia adalah bagian dari perjuangan ini. Saya selalu berusaha menjaga ikatan yang kuat antara ibu dan anak, dan sudah menjadi kesepakatan kami bersama, bahwa anak kami akan dibawa kemanapun saya harus pergi. Lagi lagi, semua ini dilakukan agar ia semakin memahami, kecintaan terhadap ilmu merupakan bagian dari visi hidup yang harus senantiasa mengiringi.

Dan opini saya yang terakhir, bagi saya menimba ilmu itu juga tidak melulu harus di sekolah. Ia berada seiring berjalannya waktu dan berputarnya roda kehidupan kita. Seperti kata E.C. Myers dalam bukunya “You know, learning doesn’t end in the classroom”. Namun itupun bukan excuse (alasan) untuk hanya menjalani hidup apa adanya, tanpa menggali dan mencari tahu lebih dalam atas sebuah makna. Masih teringat sebuah kalimat “Allah tidak menghukum orang yang tidak tahu, tapi Allah tidak suka dengan orang yang tidak mau tahu”. Maka dapat saya simpulkan, kita dapat mereguk ilmu dari banyak pintu, namun pastikan ilmu yang kita dapatkan kelak akan dapat bermanfaat, bukan hanya untuk diri kita sendiri, tapi juga banyak orang. Jika memang belum memiliki kesempatan bersekolah di universitas-universitas pilihan, tetaplah mereguk manisnya ilmu dari kajian-kajian, datang ke majelis-majelis pembinaan, mengikuti perkuliahan online, atau sekedar menambah buku bacaan, dsb.

Kembali pada topik utama, bagi saya menuntut ilmu adalah jalan untuk mendapatkan keridhoan-Nya. Ilmu adalah pintu untuk dapat menebar manfaat untuk sesama. Mungkin bisa dibilang terlalu idealis, tapi itulah salah satu cita saya. Saat ilmu yg saya pelajari akan berdampak besar untuk negeri. Hal itu pulalah yang menyebabkan saya di usia ke-26 nya masih saja berstatus sebagai mahasiswa (hihi, berasa tua :D).

Ilmu… Sebuah alasan sederhana mengapa seorang bunda tetap saja berkutat dengan dunia universitas dan jurnal-jurnal dalam kesehariannya. Sebuah pembuktian, bahwa menjadi wanita, menjadi istri, menjadi seorang bunda bukanlah halangan bagimu untuk menyemai cinta: cinta kepada ilmu, cinta kepada keluarga, cinta pada akhirat, dan yang terpenting, cinta kepada Allah dan mengejar keridhoan-Nya.”

0 komentar

Posting Komentar